Tulisan ini diunggah di JakartaBeat.net pada tanggal 11 Februari 2014
------------------------------------------------------------- Japanese Whispers #3: Konser Memikat Lintas Budaya oleh Aris Setyawan Musik adalah bahasa universal. Ia mampu menerabas berbagai halangan seperti perbedaan bahasa dan batas territorial negara sebagai bahasa yang bisa dipahami oleh siapapun di seluruh penjuru dunia dengan mudah. Frasa klasik inilah yang tampaknya jadi bahan bakar ratusan pemuda Yogyakarta Jumat malam itu (07/02) berkumpul di auditorium IFI-LIP Yogyakarta. Pasalnya, dalam beberapa jam ke depan kami semua akan menyaksikan Japanese Whispers #3, konser musik memang ditujukan untuk menampilan perpaduan line up musisi Indonesia dan Jepang. Digelar untuk ketiga kalinya di Kota Gudeg, konser musik lintas budaya dan negara ini sejatinya digagas rekan-rekan kolektif di Common People sejak 2010 yang tumbuh dari pertukaran musisi independen kedua negara tersebut. Dan malam itu, 2 band lokal Yogyakarta dan 1 band asal Jepang akan tampil memainkan musik yang berbeda genre dan bahasa, tanpa kehilangan akar budaya lokalnya. Berhubung hujan turun cukup deras sejak sore, konser yang harusnya dimulai jam 7 tepat akhirnya mundur 20 menit dari jadwal, menunggu para penonton yang mungkin masih di perjalanan terkendala derasnya hujan. Tak beberapa lama, pintu ditutup rapat, konser pun dimulai. Band yang didaulat sebagai pembuka adalah Waza, grup musik asal Yogya yang sudah banyak tampil di berbagai festival. Dengan riang dan dinamis, Waza mengkombinasikan pop dengan ska, bossanova, swing, dan sedikit dentingan musik klasik dari piano. Misty sang vokalis tampil atraktif dengan karakter vokal memikat dan paduan dress manis di atas panggung. Namun untuk beberapa orang, barangkali yang lebih menantang untuk diperhatikan adalah sang pianis di sebelah kiri panggung. Dentingan piano-nya kadang menggelitik dengan nada-nada klasik ala Eropa benar-benar menunjukkan sebuah virtuoso yang mumpuni. Menjadi bumbu manis di setiap lagu yang Waza bawakan. Atau bagi para penonton yang lebih suka memperhatikan ritme, sesekali mereka akan menengok sang drummer yang kadang memainkan sejumlah part yang sebenarnya terlalu rapat untuk tipe musik pop yang Waza bawakan, dan bagi saya ini agak mengganggu harmonisasi yang telah dibangun oleh bass, gitar, piano, brass section, dan vokal. Yang menarik, Waza juga membawakan tembang lawas Cublak-Cublak Suweng danPadang Bulan dengan aransemen versi mereka. Lagu daerah berbahasa Jawa ini dimainkan dengan sound yang cukup 'Barat', sementara Misty seperti berseloroh kepada penonton bahwa inilah musik asli Indonesia. Secara keseluruhan, Waza jelas menghibur para penonton yang duduk di auditorium LIP malam itu. Tepuk tangan meriah selalu ada di setiap akhir lagu. Adalah Answer Sheet yang naik panggung pada giliran kedua. Band folk ini sudah tak asing lagi di kalangan scene Jogja. Malam itu mereka tampil dengan formasi 3 orang. Abdullah Haq pada bass, Suryo Baskoro pada gitar, dan Wafiq Giotama alias Ogi pada ukulele dan vokal. Bagi yang mengikuti perjalanan band ini, mungkin akan merasa ada yang kurang. Seharusnya masih ada satu orang lagi yakni Rebet di ukulele dan vokal. Ya, malam itu Rebet tak hadir. Tak banyak orang yang tahu bahwa ternyata Rebet sudah tidak bergabung lagi dalam kolektif folk ber-ukulele itu. Ogi sendiri mengiyakan hal tersebut, setelah penampilan Answer Sheet dalam launching album Happy Coda Frau di panggung yang sama beberapa waktu yang lalu, Rebet memutuskan untuk hengkang dari Answer Sheet. Minus Rebet, mereka harus mencari cara agar musik yang dimainkan tidak terlampau sepi dan tetap ramai. Caranya adalah dengan Ogi yang menjadi multi-instrumentalis. Selain bernyanyi dan menggenjreng ukulele, Ogi harus menggunakan kaki kirinya untuk menghentak tambourine. Sementara kaki kanan disibukkan menginjak efek yang ada di lantai. Ogi melakukan proses live-looping dimana ia merekam beberapa part, memainkan partlain, lalu setelah semua part tersebut dimainkan sequencer Ogi akan mulai bernyanyi dan menggenjreng ukulele serta menghentak tambourine. Cukup menyenangkan melihat bagaimana Ogi harus berurusan dengan semua instrumen tersebut. Walau agak riskan karena sedikit kesalahan dalam live-looping akan berimbas pada kacaunya lagu yang dimainkan sampai akhir. Gelak tawa penonton tak terhindarkan saat beberapa kali proses live-looping tersebut mengalami kesalahan dan Ogi justru malah melontarkan candaan dengan logat Jogja yang kental “lah kok error iki?” Meminjam istilah Jawa, live-looping tak bisa dipungkiri cukup membuat Ogi kepontel-pontel. Di Japanese Whispers #3, Answer Sheet membawakan beberapa lagu dari album debut mereka Istas Promenade. Dengan kejutan asyik saat mereka membawakan cover songTenshi No Shippo milik JKT48. Joged heavy rotation malih rupa menjadi folk manis. A Love Beach, Sadranan menutup penampilan Answer Sheet tanpa encore meskipun penonton bersorak memintanya. Sebagai puncak konser, Koncos tampil jadi daya tarik utama malam itu. Dan pastinya, kebanyakan penonton masih asing dengan band ini dan musik seperti apa yang mereka mainkan. Namun ekspektasi tentu boleh membuncah, mengingat jauhnya jarak yang harus ditempuh untuk bisa tampil, dan kredibilitas Common People Yogyakarta kolektif indie-pop Jogja selaku penyelenggara. Logika sederhana akan berkata “band ini pasti bagus.” Dan benar saja, Koncos tidak mengecewakan. Adalah Taichi Furukawa (piano, bass drum, vokal) dan Sato Hiroshi (gitar-vokal) dibantu oleh Chabe (conga, perkusi, vokal) dapat memainkan musik yang begitu kaya dengan personil dan instrumen yang begitu minimalis. Musik Koncos adalah apa yang disebut sebagai Shibuya-Kei tadi dengan adanya pop yé-yé khas Prancis, bossanova Brazil, girl groups dan baroque pop 60an, serta synth pop. Koncos sendiri telah merilis album debut Piano Forte dan melakukan tur ke 47 perfektur di Jepang. Dimulai oleh guyonan yang nampaknya menjadi tradisi Japanese Whispers sejak edisi pertama sampai ketiga: para band Jepang yang tampil harus berbicara dengan bahasa Indonesia, sebuah contekan dikeluarkan yang isinya kalimat menggelitik yang mungkin disiapkan panitia. “Halo saya Chabe, saya tidak pedas,” ujar salah satu personil band. Sontak, tawa penonton terdengar. Para penonton juga mungkin terbata-bata mengikuti cara berbicara mereka dengan bahasa Inggris ala lidah Jepang yang sulit dipahami. Keterbatasan bahasa yang menjadikan Koncos tidak berbicara terlalu banyak malam itu, mereka jarang melemparkan gimmick di setiap jeda lagu kecuali sepatah dua patah kata seperti terima kasih atau arigato. Saat bernyanyi pun lirik yang mereka bawakan adalah bahasa Jepang. Namun siapapun yang malam itu berada di auditorium LIP barangkali telah mengindahkan keterbatasan bahasa, karena ketika Koncos naik panggung sontak sebagian besar penonton yang sebelumnya duduk manis langsung merangsek berdiri berdesakan ke depan panggung. Tubuh penonton mengerti bahasa universal musik tersebut, maka mereka ikut bergoyang mengikuti ritmis asyik conga dan perkusi Chabe, petikan Gibson Epiphone Sato dan dentingan grand piano Taichi. Suara ketiga personil Koncos jufa cukup merdu dengan aksen Jepang yang begitu kuat. Saat Koncos bermain, dalam benak saya seolah lewat satu adegan film Gie besutan Riri Riza (2005), saat tokoh Soe Hok Gie (diperankan Nicolas Saputra) mengatakan “Jepang adalah negara modern yang tak kehilangan akarnya sebagai bangsa timur.” Inilah Koncos, band yang memainkan musik barat namun tak kehilangan akarnya sebagai manusia timur. Setelah menyelesaikan setlist, Koncos belum bisa turun panggung karena penonton meminta encore. Satu lagu tambahan dimainkan sebagai penutup Japanese Whispers #3 malam itu. Common People Yogyakarta selaku penyelenggara boleh tersenyum bahagia. Konser mereka sukses, meriah, setiap orang pulang dengan gembira. Setiap orang menghayati musik dari berbagai belahan dunia dan bintang tamu dari negeri matahari, lalu pulang ke rumah masing-masing sebagai manusia Indonesia. Barangkali sebelum pulang, setiap orang akan mengisi perut masing-masing dengan mampir ke warung Burjo, angkringan, restoran Padang, atau gerai fastfood Amerika. Lantas pulang ke rumah, tidur, dan barangkali bermimpi indah tentang Japanese Whispers tahun depan yang barangkali juga perlu digelar di beberapa kota lain. Sumber: http://jakartabeat.net/resensi/konser-dan-pertunjukan/konten/japanese-whispers-3-konser-memikat-lintas-budaya
0 Comments
Leave a Reply. |
Categories
All
Archives
April 2015
|